Imam Al Ghazaly dalam bukunya yang berjudul Minhajul Abidin, mengatakan, bahwa Ilmu yang fardlu ain yang wajib dituntut oleh seorang muslim adalah mencakup 3 hal, yaitu :
Ilmu Tauhid
Ilmu Syariat
Ilmu Sir (Ilmu tentang hati)
Dan tidaklah ilmu-ilmu itu semua dituntut untuk tujuan berargumentasi atau memberikan keyakinan kepada orang lain baik yang beragama Islam maupun bukan.
Tetapi ilmu tersebut fardlu ain untuk dituntut, yang berhubungan dengan untuk perubahan diri.
Ilmu Tauhid dan syariat, dikalangan ummat Islam sekarang ini demikian popular untuk dipelajari. Namun jarang sekali orang yang mempelajari dan mengerti mengenai Ilmu Sir (Ilmu tentang hati).
Lantas mungkin kita akan bertanya, untuk apakah belajar Ilmu tentang hati, atau macam manakah ilmu tentang hati tsb?
Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Dalam diri manusia ada segumpal darah. Yang apabila shalih (tidak rusak), maka akan shalih seluruhnya, tetapi apabila buruk maka akan buruk pula seluruhnya, itulah hati”.
Bahkan di hadits lain, Rasulullah SAW mengatakan : ” Sesungguhnya sebuah amal itu bergantung dari niatnya“.
Sungguh, hal-hal ibadah syariat yang kita laksanakan sepanjang hari akan tidak mempunyai nilai, bila tidak disertai niat yang shalih…
Dan letak niat itu adalah di HATI.
Demikian besar fungsi hati, sehingga wajar saja bila Imam Al Ghazaly mengkatagorikan Ilmu ini menjadi ilmu yang fardlu ain untuk dituntut.
Dikajian tasawuf, pembahasan tentang hati merupakan agenda utama. Hal ini sesungguhnya untuk penyelarasan dari Ilmu Tauhid dan Syariat, yang sebelumnya (oleh kebanyakan orang) telah dipelajari.
Dalam sebuah kata-kata hikmah (bagi sebagian ulama ini dikatakan sebagai hadits dari Rasulullah SAW) bahwa : “Man ‘Arofa Nafsahu faqod ‘Arofa Rabbahu“. “Barangsiapa mengenal dirinya (nafsahu) maka ia akan mengenal Tuhannya”.
Sementara Ali. R.A mengatakan bahwa : “Awwaluddina Ma’rifatullah“. “Awalnya beragama adalah mengenal Allah”.
Sehingga dapat dilihat hubungannya, bahwa Mengenal diri (An-Nafs) merupakan awal dari seorang beragama dengan haq.
HATI
Diri manusia dapat dilihat secara indrawi dengan perilaku dan perangai seseorang. Dan seorang berperilaku, seorang berperangai, merupakan cerminan dari HATI-nya.
Sehingga untuk mengenal diri kita, kita harus memulainya dengan mengenal Hati kita sendiri.
Hati itu terdapat 2 jenis :
1. Hati Jasmaniyah
Hati jenis ini bentuknya seperti buah shaunaubar. Hewan memilikinya, bahkan orang yang telah matipun memilikinya.
2. Hati Ruhaniyyah
Hati jenis inilah yang merasa, mengerti, dan mengetahui. Disebut pula hati latifah (yang halus) atau hati robbaniyyah.
Dalam kajian kita, yang dituju dengan kata HATI atau Qalb adalah hati jenis 2, hati Ruhaniyyah.
Karena Hati inilah yang merupakan tempatnya Iman :
Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu (QS. 49:7)
karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu (QS. 49:14)
Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka (QS. 58:22)
Bahkan lebih dari itu, dalam sebuah hadits Qudsi dikatakan :
Tidak akan cukup untuk-Ku bumi dan langit-Ku tetapi yang cukup bagi-Ku hanyalah hati (qalb) hamba-Ku yang mukmin”.
Catatan : Apakah sebenarnya Iman (mukmin) itu ?
Maka dengan hatilah, seseorang dapat merasakan iman. Dengan hatilah seorang hamba dapat mengenal Rabb-nya.
Sebelum kita beranjak jauh tentang hati, ada beberapa hal yang nantinya bersangkut paut dengan hati dan perlu kita jelaskan terlebih dahulu.
Kebanyakan orang hanya mengerti bahwa manusia itu hanya terdiri jasad dan ruh. Mereka tidak mengerti bahwa sesungguhnya manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu : jasad, jiwa dan ruh.
Banyak orang yang tidak mengerti tentang Jiwa ini. Bahkan dalam bukunya Al Ihya Ulumuddin Bab Ajaibul Qulub, Imam Al Ghazaly mengatakan, “bahkan ulama -ulama yang masyhur sekarang ini (zaman Imam Al Ghazaly : red) banyak yang tidak mengerti hal ini”. Itu pada zaman Imam Al Ghazaly. Berapa ratus tahun yang lalu. Apatah lagi sekarang?
Kebanyakan orang rancu pengertiannya antara Jiwa dengan Ruh. Padahal jelas-jelas dalam Al Qur’an, Allah membedakan penggunaan kata Ar-Ruh (Ruh) dengan An-Nafs (Jiwa).
JASAD
Jasad adalah anggota tubuh dari manusia. Seperti : tangan, kaki, mata, mulut, hidung, telinga, dan lain-lainnya. Bentuk dan keberadaannya dapat diindera oleh manusia. Hewanpun dapat menginderanya.
Dari jasad inilah, timbulnya kecenderungan dan keinginan yang disebut SYAHWAT. Seperti yang disebutkan dalam Al Qur’an :
“Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada syahwat, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik”. (QS Ali Imran : 14)
JIWA (An Nafs)
An-Nafs dalam kebanyakan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, diartikan dengan Jiwa atau diri. Padahal sesungguhnya An-Nafs ini menunjuk kepada dua maksud, yaitu : hawa nafsu dan hakikat dari manusia itu sendiri (diri manusia).
1. Hawa Nafsu
Nafsu yang mengarah kepada sifat-sifat tercela pada manusia. Yang akan menyesatkan dan menjauh dari Allah. Inilah yang oleh Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan Al Baihaqi dari Ibnu Abbas :
“Musuhmu yang terbesar adalah nafsumu yang berada diantara kedua lambungmu”.
“Dan aku tidaklah membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu suka menyuruh kepada yang buruk”. (QS Yusuf : 53)
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah (QS Shaad : 26)
2. Diri Manusia
Diri manusia ini apabila tenang, jauh dari goncangan disebabkan pengaruh hawa nafsu dan syahwat, dinamakan Nafsu Muthmainnah.
“Hai jiwa yang tenang (nafsu muthmainnah), kembalilah kepada Tuhanmu, merasa senang (kepada Tuhan) dan (Tuhan) merasa senang kepadanya”. (QS Al Fajr : 27-28)
Namun diri manusia yang tidak sempurna ketenangannya, yang mencela ketika teledor dari menyembah Tuhan, disebut Nafsu Lawwamah.
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat mencela kejahatan (Nafsu Lawwamah)”. (QS Al Qiyamah : 2)
RUH (Ar Ruh)
Perkataan Ruh, mempunyai dua arah. Sebagai nyawa dan sebagai suatu yang halus dari manusia.
1. Nyawa
Pemberi nyawa bagi tubuh. Ibarat sebuah lampu yang menerangi ruangan. Ruh adalah lampu, ruangan adalah tubuh. Mana yang terkena cahaya lampu akan terlihat. Mana yang terkena ruh akan hidup.
2. Yang Halus dari Manusia
Sesuatu yang merasa, mengerti dan mengetahui. Hal ini yang berhubungan dengan hati yang halus atau hati ruhaniyah.
Dalam Al Qur’an, Allah SWT menggunakan kata Ruh dengan kata Ruhul Amin, Ruhul Awwal, dan Ruhul Qudus.
Adapun maksud-maksud dari kata tersebut merujuk kepada keterangan yang berbeda-beda yaitu :
1. Ruhul Amin
Yang dimaksud dengan ini adalah malaikat Jibril.
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin”. (QS Asy-Syu’araa’ : 192-193)
2. Ruhul Awwal
Yang dimaksud dengan ini adalah nyawa atau sukma manusia.
3. Ruhul Qudus
Yang dimaksudkan dengan ini bukanlah malaikat Jibril, tetapi ruh yang datang dari Allah, yang menguatkan, menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.
Katakanlah : “Ruhul Qudus menurunkan Al Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan hati orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta khabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS An Nahl : 102)
dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran kepada Isa putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus (QS Al Baqarah :87)
Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan ruh yang datang dari pada-Nya (QS Al Mujadillah : 22)
Setelah kita mengetahui definisi-definisi atau penjelasan mengenai jasad, jiwa, dan ruh mungkin kita akan bertanya, lalu apa manfaatnya?
TENTARA HATI
Hati itu bagi seorang manusia, bagaikan raja dengan tentara-tentara berupa tentara zahir dan tentara bathin.
Ketika seorang berada dalam ancaman bahaya, maka orang tersebut untuk menolak atau melawan bahaya, memerlukan dua tentara tsb.
Tentara batin : yaitu marah untuk melawan ancaman bahaya, tentara Zahir : yaitu tangan dan kaki untuk mengeluarkan langkah-langkah perlawanan.
Demikian pula ketika seorang akan makan. Ia memerlukan dua tentara tsb.
Tentara batin : Syahwat untuk makan, tentara zahir : tangan dan kaki untuk mengambil makanan.
Seorang sedang lapar bagaimanapun, bila hatinya mendiamkan syahwat (keinginan jasad) untuk makan dan tidak memerintahkan tangan dan kaki untuk mengambil makan, maka ia tidak akan melakukan pekerjaan makan.
Untuk itulah dikatakan HATI adalah Raja, bagi seluruh tubuh dan diri manusia.
Sehingga perna penting Raja untuk mengarahkan kemana tubuh dan diri berjalan, sangat menentukan sekali.
HATI DI TIGA PERSIMPANGAN
Sesungguhnya Hati yang merupakan Raja ini, berada pada 3 persimpangan. seperti gambar dibawah ini :
Hati berada dalam pengaruh Jasad (Syahwat), Hawa Nafsu, dan Nafsu Muthmainnah.
Seorang manusia, yang membiarkan hatinya berada dalam dominasi Syahwat dan Hawa Nafsunya, maka akan menjadi orang yang tersesat. Yang lambat laun bisa tergelincir menjadi orang yang dimurkai Allah.
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran (QS. 45:23)”
Hawa Nafsu itu melingkupi segala aspek. Tidak diperbolehkan kita mengikuti hawa nafsu, dalam BERAGAMA sekalipun.
Banyak para aktivis dakwah, demikian bersemangatnya dalam berdakwah kadang kala terlena, tidak menyadari kalau dalam mengatur strategi dakwah, telah ditunggangi oleh Hawa Nafsunya.
Banyak pula para alim-ulama, yang demikian bangga terhadap ilmu yang dipelajarinya, sehingga merasa pendapatnya adalah pendapat yang paling benar, dan selainnya (selain golongannya) adalah pendapat yang salah.
Tidak disadari bahwa Hawa Nafsu telah merasuk dalam kemurnian beragamanya.
Dan kalaulah kita dapat keluar dari dominasi Hawa Nafsu dan Syahwat ini, maka Allah menjanjikan :
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka : “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka). (QS. 4:66)
Apakah dalam ayat diatas, maksud bunuh diri adalah mengambil pisau lalu menghujamkannya ke perut? Atau mengambil racun lalu meminumnya?
Bukan !
Inilah kesalahan yang dapat terjadi bila kita tidak mengetahui arti yang sesungguhnya dari kata An-Nafs tersebut.
Dalam ayat ini dalam Arabnya dipergunkan kata Anfus (Jamak dari An-Nafs).
Bila Al Qur’an menggunakan An-Nafs dalam bentuk jamak, ini sesungguhnya merefer kepada Jiwa-jiwa yang banyak. Yaitu Hawa Nafsu. Karena bentuk Hawa Nafsu itu banyak. Seperti marah, sombong, ria, ujub, ingin dihormati, dsb.
Namun bila An-Nafs ini dalam bentuk tunggal, maka sesungguhnya ia merefer kepada Jiwa yang tunggal yaitu Nafsu Muthmainnah. Karena memang Nafsu Muthmainnah ini tunggal. Dan ini merupakan Hakikat diri manusia.
Jadi, bunuhlah dirimu dalam ayat ini, sesungguhnya mempunyai maksud : Keluar dari Dominasi Hawa Nafsu.
Keluar dari kampungmu dalam ayat ini, sesungguhnya mempunyai maksud : keluar dari kampung si Jiwa, yaitu Jasad. Atau keluar dari dominasi Syahwat.
Sehingga, bila seorang dapat keluar dari dominasi Hawa Nafsu dan Syahwatnya, sesungguhnya Allah akan menguatkan iman mereka.
Namun Sangat sedikit sekali yang mau melaksanakan ini.
Hawa Nafsu dan Syahwat ini bukan dibunuh dan dihilangkan. Tetapi dikontrol oleh Nafsu Muthmainnah.
Ada saatnya hawa nafsu dan syahwat dikeluarkan, dan saat lain kembali dikekang.
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. (QS. 79:40) maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (QS. 79:41)”
Kesalahpahaman pengartian An-Nafs juga berimplikasi kepada penafsiran yang kadang kala kurang tepat pada ayat-ayat seperti dibawah :
Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat (QS. 4:95)
Banyak orang sering langsung mengarah kepada ayat-ayat sejenis diatas, berjihad dengan harta dan Jiwa (An-Nafs) adalah merupakan perang fisik.
Apakah memang demikian? Apakah Islam harus selalu perang sementara Islam adalah sebuah agama yang damai?
Memang betul, dalam kondisi yang mewajibkan kita berperang ayat ini merupakan perintah pula untuk berperang.
Namun dalam kondisi damai ada yang lebih berat dibandingkan dengan perang fisik, yaitu berjihad melawan syahwat dan hawa nafsu.
Setelah melakukan perang dan akan memasuki bulan Ramadhan, Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabat :
“Kita kembali dari jihad kecil kepada perjuangan besar”. (Hadits riwayat Al Baihaqy dan Jabir, dalam hadits ini ada sanad yang lemah).
Terlepas dari ke-dhoifan hadits diatas logikanya seperti ini : Seorang manusia yang telah dapat melepaskan hatinya dari takut kehilangan harta, keluarga, jabatan, dsb, hanya seorang yang telah mampu melawan syahwat dan hawa nafsunya.
Kalaulah kita temukan orang yang seperti ini, niscaya dia tidak takut lagi mati. Niscaya dia tidak akan pernah mengelak dari perintah untuk berperang, bila kondisinya mewajibkannya untuk berperang.
Tetapi orang yang hatinya masih takut kehilangan harta, pekerjaan, keluarga, jabatan, dsb. ia akan takut mati. Peperangan adalah sebuah hal yang sangat berat baginya.
Artinya, dalam logika sederhana tersebut, akan tergambar, kalaupun hadits tsb dhoif dari sanadnya, namun secara ilmiah hal itu dapat dibenarkan dan secara mathan, tidak ada ayat Al Qur’an yang bertentangan dengannya.
Dalam bahasan saya diatas, saya juga mencoba menunjukkan, bahwa tasawuf yang bagi sebagian orang diidentikkan sebagai pola pendekatan Islam yang mengabaikan perintah untuk berperang adalah kurang tepat.
Berperang adalah suatu kewajiban apabila kondisinya mewajibkan untuk melakukannya. Namun bila masa damai bukan lantas mencari-cari supaya ada perang! Tetapi melakukan jihad yang lebih berat, yaitu melawan Hawa Nafsu dan Syahwat.
Dan Allah menjanjikan bagi mereka yang mampu melawan Hawa Nafsu dan Syahwatnya ini dengan menguatkan iman dan surga sebagai tempat tinggalnya.
Semoga kita termasuk kedalam golongan orang yang dikuatkan Allah untuk melawan dominasi syahwat dan hawa nafsu yang ada dalam diri kita.
NAFSU MUTHMAINNAH
Seorang yang hatinya telah didominasi oleh Nafsu Muthmainnah, bukan lagi oleh syahwat atau hawa nafsu, maka Nafsu Muthmainnah menjadi Imam bagi seluruh tubuh dan dirinya.
Dan seperti dikatakan dalam penjelasan sebelumnya, sesungguhnya Nafsu Muthmainnah inilah yang disebut Jati Diri manusia itu. Hakikat dari manusia itu.
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa (An-Nafs) mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu”. Mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (QS. 7:172)
Siapakah yang berjanji dalam ayat diatas ? Apakah kita pernah merasa berjanji?
Yang berjanji seperti disebutkan di ayat diatas, bukanlah ruh. Tetapi Jiwa yang tunggal, Nafsu Muthmainnah.
Namun kemana Nafsu Muthmainnah kita sekarang?
Sejak kita dilahirkan ke bumi, berapa puluh tahun yang lalu, sudah berapa banyak kita membiarkan hati kita di dominasi Syahwat dan Hawa Nafsu?
Pada dasarnya, Jiwa (Nafsu Muthmainnah) kita ini seperti juga jasad. Jasad membutuhkan makan, demikian pula dengan Jiwa.
Jasad membutuhkan makanan berupa : karbohidrat, vitamin, mineral, protein, dsb. Jiwa juga membutuhkan makanan, seperti : shalat, dzikir, puasa, dsb.
Dalam sehari orang pada umumnya jasadnya membutuhkan makan 3 kali, dengan kadar karbohidrat, vitamin, mineral, protein tertentu. Apabila ini tidak terpenuhi maka akan sakit, bahkan mati.
Demikian pula jiwa.
Dalam sehari Allah telah menetukan makanan minimalnya :
————————————————————————————
MAKANAN JUMLAH KADAR (misal)
————————————————————————————
Subuh 2 Rakaat 200
Dzuhur 4 Rakaat 400
Ashar 4 Rakaat 400
Maghrib 3 Rakaat 300
Isya 4 Rakaat 400
————————————————————————————
Total 17 Rakaat 1700
————————————————————————————
Dalam sehari Allah mempersyaratkan minimal 1700 nilai (misal untuk memudahkan deskripsi) bagi jiwa kita.
Namun ketika subuh kita sholat sambil mengantuk, mungkin nilainya hanya 50.
Dzuhur selagi masih banyak perkerjaan, nilainya mungkin 20. Ashar Sudah hampir pulang bekerja, nilainya mungkin 40. Maghrib sudah sampai rumah tapi masih capek, mungkin nilainya 60. Isya bisa konsentrasi dengan baik mungkin nilainya 400.
Namun dalm sehari itu total yang dikonsumsikan oleh Jiwa hanya 570. Jauh dari nilai minimal 1700. Dan selama puluhan tahun hidup tahun ini, sepanjang hari kita kurang dalam memberikan konsumsi pada Jiwa.
Apa yang terjadi? Jiwa kita sakit. Nafsu muthmainnah sakit. Mungkin sekarang ia lumpuh, buta, tuli, dan bisu, atau mungkin mati !
Itulah yang dikatakan Allah
Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar), (QS. 2:18)
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. 22:46)
Hati adalah tempat dari Nafsu Muthmainnah. Ketika Nafsu Muthmainnah yang dominan terhadap hati, maka hati itu adalah si Nafsu Muthmainnah.
Kita tidak menyadari, bahwa dengan perjalanan hidup kita selama sekian puluh tahun, dengan memberikan konsumsi makanan yang kurang terhadap Jiwa kita dan membiarkan terdominasi oleh Hawa Nafsu dan Syahwat, Jiwa (hati) kita menjadi lumpuh, buta, tuli, bisu, bahkan mungkin mati.
Jiwa (hati) kita menjadi sakit. Sehingga lupa terhadap perjanjian yang pernah diucapkan pada Allah seperti dalam QS 7:172.
JIWA YANG SEHAT
Ada orang-orang yang berhasil dalam pelaksanaan agamanya, menghidupkan dan menyehatkan kembali Jiwa (Nafsul Muthmainnah) nya.
Sehingga hatinya di dominasi oleh Nafsul Muthmainnahnya. Jiwa yang sekarang ini abstrak/ghaib (tidak terindera) oleh kita, apabila telah hidup, telah sehat, maka matanya akan melihat, telinganya akan mendengar, mulutnya dapat berkata-kata.
Jiwa apa bila melihat maka ia akan melihat sesuai dengan dimensi keghaibannya. Inilah yang dalam terminologi tasawuf dikatakan Mukasyafah.
Jadi bukanlah suatu hal yang aneh dikalangan para pejalan tasawuf yang lurus, dapat melihat jin, malaikat, jiwa-jiwa manusia yang telah mati, dan lain sebagainya yang menurut pandangan kita adalah sesuatu yang ghaib.
Karena sesungguhnya bukan mata inderawi (jasad) lah yang melihat tetapi mata si Jiwa yang ada didalam dada.
Dan sehatnya Jiwa Muthmainnah inilah, salah satu paramater seorang telah beriman dengan benar.
0 komentar :
Posting Komentar