Alhamdulillahirabbilalamin. Shalawat serta salam kesejahteraan Allah semoga senantiasa terlimpah kepada junjungan kita semua, Nabi Muhammad saw. Rasul yang membawa lentera kebenaran, membawa syariah (agama) yang menjamin kebahagiaan makhluk di dunia dan diakhirat, juga kepada keluarga dan shahabatnya yang setia.
Untuk pertamakalinya dalam sejarah, saya tergugah untuk membuat e-book yang bisa diunduh secara gratis. Sebuah buku yang saya garap sejak pertengahan 2010. Buku sederhana tetapi penting dibaca: “FIQH AL-IKHTILAF: NU-Muhammadiyah”. Buku ini saya tulis dan pada akhirnya saya gratiskan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan keinginan kita semua, yakni hidup damai di tengah
perbedaan pendapat, khususnya dalam masalah hukum Islam (fiqih).
Kita tahu, sebenarnya perbedaan pendapat dalam masalah fiqih bukan lagi masalah baru, melainkan sudah ada sejak Rasulullah Saw. wafat. Perbedaan masalah fiqih terus berkembang seiring dengan berkembangnya zaman dan timbulnya masalah-masalah baru dalam kehidupan. Pasca Rasulullah wafat mulai timbul perbedaan pendapat yang kemudian melahirkan madzhab-madzhab, yang di antara madzhab-madzhab itu saling berdebat, dan dari perdebatan mereka yang tidak mungkin menemukan kesepakatan karena masing-masing memiliki dasar sendiri-sendiri yang kemudian menimbulkan perselisihan, dan dari perselisihan itu berlanjut menjadi perang dingin, atau bahkan menyebabkan terjadinya benturan secara fisik maupun pertikaian politis.
Itulah fenomena di dunia Islam. Sebagian dari kita bukan tidak tahu sabda Rasulullah, bahwa “perbedaan adalah rahmat.” Perbedaan adalah hal yang sangat niscaya, sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Lebih-lebih dalam masalah fiqih, yang mana dasar utamanya al-Qur’an dan Sunnah. Sementara cara pengambilan hukum (istimbath) Fuqaha satu dengan yang lainnya terkadang terdapat perbedaan. Belum lagi kalau kita berbicara masalah kondisi dan situasi (sosial dan politik) di mana hukum Islam tersebut ditetapkan, ayat-ayat al-Qur’an dan hadist apa yang dijadikan dasar. Sungguh kian terang keyakinan kita akan niscayanya sebuah perbedaan. Karena itu, fiqih sebenarnya tidak kaku dan saklek, melainkan lentur, sangat fleksibel.
Maka, sungguh kita kasihan kepada orang yang seumur hidupnya digunakan untuk menghujat suatu madzhab dan pandangan fiqh tertentu. Lebih-lebih mereka yang menghujat, bahkan mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengannya tetapi tanpa disertai dengan dasar melainkan hanya dengan kata “pokoknya”, “bagaimanapun”, dan kata-kata sejenis itu. Di lain pihak, ada sebagian orang yang menghargai perbedaan pendapat dalam masalah fiqih. Mereka tidak menghujat dan benar-benar menerapkan sabda Rasulullah tentang keniscayaan perbedaan pendapat, namun mereka mengamalkan ajaran islam (baca: fiqih) tersebut tanpa mengetahui dasarnya sama sekali.
Dalam konteks Indonesia, fenomena di atas sudah kita pahami bersama. Di negeri yang warganya merupakan pemeluk Islam terbesar di dunia ini, ternyata sangat banyak orang yang mengamalkan ajaran Islam, dengan hanya melihat dan mendengar sepotong-sepotong dari orang lain, yakni pemuka agama, guru, Kyai, tokoh masyarakat, atau bahkan tetangga di depan rumahnya tanpa kemudian berusaha menyibukkan diri sejenak untuk khusuk mempelajarinya sebelum bertaklid.
Taklid buta tentu saja membawa dampak besar yaitu mundurnya tradisi pemikiran ummat Islam. Maraknya taklid buta menandakan kemalasan ummat Islam untuk mendalami masalah-masalah keagamaan yang ia praktekkan sehari-hari. Selain itu, taklid buta juga sangat rentan menimbulkan konflik antar pemeluk agama Islam yang mana memiliki pandangan fiqih yang berbeda. Taklid buta mengakibatkan umat Islam terpecah, gampang dipecah, dan diadu domba. Taklid buta juga dirasa bisa membuat seseorang kurang khusuk dan meresapi amalan-amalan ibadah yang ia kerjakan. Ambillah misal, ada seorang yang taklid buta yang sehari-harinya selalu mengerjakan shalat subuh tanpa qunut, kemudian orang tersebut melihat ada orang lain shalat subuh dengan qunut, maka kira-kira apa yang ada dibenaknya? Ia mungkin akan segera membatin bahwa shalat orang yang ia lihat itu batal, tidak sah, dan harus diulang. Atau ia mungkin akan segera menjauhi orang tersebut, menganggapnya sebagai penganut bid’ah yang akan masuk neraka. Sebab ia pernah mendengar dari--meskipun hanya sepotong-sepotong--ceramah Kyai Anu yang alim dan kondang itu bahwa dalam shalat subuh itu tak ada qunut. Ia juga melihat dalam keluarganya, dari kakeknya sampai saudara-saudara kakeknya tak ada yang mengerjakan qunut dalam shalat subuh. Begitu pula sebaliknya, orang yang taklid buta yang sehari-harinya mengerjakan qunut subuh maka akan melahirkan pandangan yang negatif saat menjumpai orang yang shalat shubuh tanpa qunut. Jangankan orang yang taklid buta, orang yang sudah tahu dasar qunut subuh saja terkadang masih berprasangka yang tidak-tidak saat berada di tengah orang yang berbeda pandangan fiqih dengannya.
Oleh karena itu, sangatlah penting bagi ummat Islam untuk jika ijtihad dipandang sudah berhenti oleh sebagian kalangan paling tidak mengetahui dasar-dasar hukum Islam. Kenapa subuh memakai qunut, kenapa shalat tarawih 20 rakaat, dan lain sebagainya, khususnya hukum-hukum yang biasanya terjadi khilafah (perbedaan pendapat). Dalam buku kecil dan sederhana ini, sesuai dengan judulnya, yang penulis bahas lebih jauh adalah perbedaan pandangan dalam masalah-masalah fiqih dari dua Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) terbesar di Indonesia: Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
NU dan Muhammadiyah bukanlah madzhab melainkan lebih dikenal sebagi Ormas. Namun demikian di dalam kedua Ormas tersebut terdapat lembaga yang tugasnya mengeluarkan fatwa-fatwa berkaitan dengan hukum Islam (fiqh). Di NU ada lembaga yang disebut dengan Bahtsul Masa’il. Sementara di Muhammadiyah ada satu lembaga yang disebut Tarjih atau Lajrnah Tarjih.
Memang, tidak semua orang NU mengamalkan apa yang sudah menjadi keputusan Bahtsul Masa’il, dan tidak semua orang Muhammadiyah mengamalkan apa yang terangkum dalam kitab Himpunan Keputusan Tarjih Muhammadiyah. Dan memang apa yang menjadi keputusan kedua lembaga fatwa ormas tersebut tidak ada paksaan untuk dijalankan. Kedua lembaga tersebut merasa terpanggil untuk mengeluarkan fatwa dikarenakan kegelisahan masyarakat atas munculnya masalah fiqhiyah yang baru atau untuk menjelaskan secara sistematis kepada publik, baik kelompoknya maupun di laur kelompoknya, berkaitan dengan pandangan atas suatu praktek keagamaannya.
Apa yang dilakukan dua ormas tersebut tentu saja sangat membantu para anggotanya, selain juga sangat berguna untuk meredam su’udzan dengan kelompok lain. Karena ketika orang Muhammadiyah misalnya, tidak sependapat dengan NU berkait perbedaan penentuan Hari Raya Idul Fitri, ia kemudian akan segera memakluminya setelah mengetahui dasar yang digunakan NU dalam menentukan tanggal 1 Syawal, dan ini berlaku sebaliknya.
Namun begitu, selama ini hasil keputusan Bahtsul Masa’il dan Dewan Tarjih dibukukan secara terpisah, karena memang pembukan tersebut dimaksudkan sebagai dokumentasi sebagai rujukan kalangan sendiri (dua kelompok tersebut). Padahal, tidak sedikit orang NU yang ingin mengetahui dasar-dasar pengambilan hukum Islam Muhammadiyah, dan demikian pula sebaliknya banyak orang Muhammadiyah yang ingin tahu bagaimana sesungguhnya NU dalam mengistimbathkan hukum. Dan pengetahuan itu memang penting.
Maka, penulis merasa tergugah untuk menyatukan pandangan-pandangan fiqih lembaga fatwa NU dan Muhammadiyah dalam sebuah buku. Penulis memberanikan diri melakukan ini tidak lain dikarenakan ingin mengajak pembaca untuk tidak terburu-buru menganggap “salah” satu golongan hanya dikarenakan perbedaan pandangan fiqih. Juga, agar pembaca yang mengaku dirinya Muhammadiyah atau NU dan selama ini mempraktekkan amalan-amalan Muhammadiyah atau NU dapat meresapi, menghayati, dengan penuh kesadaran dari semua istimbath hukum di atas landasan yang kokoh, jauh dari taklid buta.
Fatwa-fatwa NU dan Muhammadiyah yang ada di buku ini tentu sangat terbatas jumlahnya. Kami sengaja memilihkan beberapa fatwa saja yang sebenarnya sudah sangat klasik, sering diperdebatkan baik di kerumunan, di tempat yang sepi maupun menjadikan pertanyaan di benak kaum muslimin. Di antara fatwa-fatwa tersebut adalah:
a. Niat Shalat
b. Shalat Jumat
c. Qunut Subuh dan Witir
d. Rakaat Shalat Tarawih
e. Dzikir setelah Shalat
f. Penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal
g. Tawasul
h. Tahlil
i. Tata cara Dzikir
j. Hukum (me)rokok
Sungguh, tak ada maksud dari penulis untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan (jika itu ada) dari fatwa yang di keluarkan dua ormas tersebut. Dengan kesungguhan yang besar saya mencoba menulis buku ini dengan seobyektif mungkin, berdasar pada sumbersumber yang kami dapat baik melaui media cetak maupun elektronik. Sumber-sumber tersebut sebagian terhimpun dalam buku hasil keputusan Muktamar Tajrih Muhammadiyah dan Bahtsul Masa’il. Selain itu juga dari beberapa kitab dan situs di internet, antara lain:
- Masyhudi Muchtar, Aswaja An-Nahdliyah, Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama, Khalista Surabaya: 2007
- Risalah Amaliyah Nahdziyah, PCNU kota Malang
- Tim Bahtsul Masail PCNU Jember, Membongkar Kebohongan Buku; Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik (H. Mahrus Ali), Khalista, Surabaya: 2008
- KH Muhyidin Abdusshomad, Hujjah NU Akidah-Amaliah-Tradisi, Khalista Surabaya: 2008
- PP Rabithah Ma’hadil Islamiyah, Masalah Kegamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdhatul Ulama, Dinamika Press, Surabaya: 1977.
- H. Soelleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, S.Sos, Antologi NU, sejarah Istilah Amaliah, Uswah, Khalista, Surabaya: 2007
- Abdul Munir Mulkhan, Masalah-Masalah Teologi dan Fiqh dalam Tarjih Muhammadiyah, Roykhan, Yogyakarta: 2005
- PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta, 1974.
- Majalah Suara Muhammadiyah
- Majalah Aula
- Berbagai sumber di internet di antaranya:
- www.nu.or.id
- www.muhammadiyah.or.id
Satu lagi tujuan penulis, dengan menggabungkan pandangan fiqih NU dan Muhammadiyah dalam satu buku yakni untuk memudahkan kaum yang awam, atau yang selama ini fanatik namun masih sekadar taklid, untuk menatap lebih dalam praktek-praktek serta dasar-dasar hukum Islam yang dianut kelompok lain. Sehingga apa yang menjadi harapan kita, yakni terwujudnya Islam Rahmatalil’alamin, yang kokoh dalam persatuan dan tidak mudah diadu domba dapat terwujud.
Perlu diingat, karena hukum islam (fiqh) terus berkembang sesuai perubahan zaman, maka tidak menutup kemungkinan apa yang menjadi Fatwa NU maupun Muhammadiyah yang di dalam buku ini juga bisa berubah sewaktu-waktu. Kami sangat menyadari buku setebal 167 halaman ini masih jauh dari apa yang diharapkan pembaca, karena banyak kekurangan dan kekhilafan di sana-sini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan masukan demi memperbaiki buku ini.
Akhirnya, selamat membaca dan mengkaji.
SERVER ZIDDU |
SERVER SHARE CASH |
0 komentar :
Posting Komentar